KISAH DEWA RUCI
Cerita tentang AJARAN DEWA RUCI KEPADA ARYA
WREKUDARA/ARYA SENA/BIMA ketika
masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh
Pujangga Surakarta/Solo, Yosodipuro
berjudul:"SERAT DEWARUCI KIDUNG" yang disampaikan dalam bentuk macapat,
berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta
dan Jawa Kuna.
Seperti apa kisahnya,
maka kami informasikan intisarinya yaitu bahwa pihak kaum
Kurawa dengan nama negeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak
Pandawa di negeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke
dalam kesengsaraan, melalui perantaraan Guru Durna. Sena yang adalah
murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai
kesempurnaan demi kesucian badan ,maka diharuskan mengikuti perintah
sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena yang
telah yakin tidak mungkin teritipu dan dibunuh oleh anjuran Gurunya,
tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada
niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu
Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa
dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda,
bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena,
Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana,
dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi
petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan
berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama
makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal
adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara,
dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia
mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk
mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan
hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa
optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan
minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua
gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua
disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua
terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat
kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena,
tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian
dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan
meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai
lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana
mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri
dibawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, Sena
mendengar suara tak berwujud : "Wahai cucuku yang sedang
bersedih,enkau mencari tidak menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan
yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari itu, sungguh menderita
dirimu". Diceritakan saat Sena sudah pasrah..... suara itu
yang ternyata adalah dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara Bayu,
yang memberitahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata
memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk mencari
air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.Perintah inipun
dituruti lagi.........
Setibanya di serambi
Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni,
Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa,
dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan
tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya
diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera.
Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat
maka Senapun lalu ia pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir
dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada)
Sementara itu di
Astina keluarga Sena ynag mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu
Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan
datang ke Ngamarta. Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna
mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan
mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik
berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala,
Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan
mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa
ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat
dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak
membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi,
tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di
tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan
menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar
masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan
bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik
mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke
dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa
takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah
menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam
samudera.
Dengan suka cita ia lama
memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang
tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan
semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak
lupa digunakannya ilmu
Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar
segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat
mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya
tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan
mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera
menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar
deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa
bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu
dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan
mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian,
memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri
menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para
saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan
Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut
panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara
:"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada
tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya
ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya
makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini,
banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di
tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu
tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun
keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang
Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para
raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu
Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang
kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari
keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas
petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih,
karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang
yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan
:"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum
tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan
dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang
bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning
dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat
yang harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh
Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan
"Segeralah kemari
Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa
sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana
jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum
dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia,
hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam
tubuhku".
Atas petunjuk Dewa
Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut
luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu
timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu
matahari, nyaman rasa hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal,
murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala
keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada
kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci
tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah
dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara
melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang
dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air
suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar
bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna,
tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada
orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak
dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan
gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum,
tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga
yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya,
dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia
zat.
Kehidupan Pramana
dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu,
namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan
suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari
dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada
dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini
secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan
memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan
untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan
kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan
pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu
dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma
Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan
kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat
anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia
bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara
perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk
memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan
nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh,
karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang
kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka
jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas
penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi
badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri
sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul
itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad
ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan
segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini
dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam
mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar
melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah
mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka
hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan
kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau
kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada
lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan
hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai
menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami,
lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan
hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu
mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang
berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh
penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat
dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu,
tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui
kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa
tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu
akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan
merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar,
mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya,
cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu
yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup
usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar
ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari
dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran,
bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan,
gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata,
bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu,
berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian
mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya
yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian
sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri
Ngamarta
Tekad yang sudah
sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan
tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya,
sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan
untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini,
memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan,
itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan
kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang
Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar
samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai
perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang
memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan.
Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti,
jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".
Sampai disini cerita
singkat tentang Dewa Ruci.
|
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
Orang Jawa menganggap
cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan
cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan
harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria
Werkudara dan Dewa Ruci.
Pencarian air suci
Prawitasari
Guru Durna
memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita
dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari
pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung
Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini
melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa
berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan
Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus
membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan
ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang
dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat
artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau
paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat
yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar
yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya
Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya
suci.
Raksasa Rukmuka
dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang
oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima
berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan
untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti
rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak
(kemukten).
Rukmakala : Rukma
berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari
kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas
permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan
mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian
apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan,
karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya
dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus
halangan-halangan tersebut.
Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa
air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa
ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra
Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti
luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut
dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian
untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya
mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan
didalam hatinya. Untuk itu dia harus
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila
kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik
dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup
dengan sadar.
4. Anoraga
: rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak
akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah
dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa
dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain
: melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira
: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi
merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian
yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat
baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau
sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan
mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain
makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih
makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu
harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak
perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering
bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan
Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh
ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu
Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa
Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat
dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur
pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya
samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya
segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima
telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya
yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah
mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut
“mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah
merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi
tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan
kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti
simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian
dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan
sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra
artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai
sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng :
kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang
merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini
menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik
kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan
duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia
telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan
orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang
yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu
kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka
menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
No comments:
Post a Comment